Mengenai Saya

Foto saya
JAKARTA TIMUR, DKI JAKARTA, Indonesia
hai, kenalin nama gue "ika rafika" , gue adalah seorang mahasiswi bimbingan dan konseling semester 2 yang baru naik ke semester 3 dan yang sebentar lagi punya adik kelas. ngga tau kenapa, gue bangga banget sebentar lagi bakal jadi kakak kelas, awalnya. tapi setelah ngeliat calon adik kelas gue ternyata secara pemikiran, wajah, dan penampilan lebih dewasa dari gue, gue mikir ribuan kali buat jadi kakak kelasnya. gue itu aktif di kepramukaan dari gue sd sampai gue kuliah kaya sekarang ini.

Minggu, 05 Februari 2012

novel gue


inilah novel gue, silahkan dibaca dulu, dan gue minta komentarnya ya, untuk sekedar mengoreksi, dan biar tulisan gue, gue kembangin lagi.
BAB 1
            KELAHIRANKU
            Malam itu hujan sangat deras, mama sedang berada di salah satu rumah sakit besar di Jakarta, 
mama akan melahirkanku sebentar lagi, dengan perasan bahagia seluruh keluargaku berkumpul menunggu kelahiranku, hanya tinggal papa yang masih dalam perjalanan. Mama menelpon papa agar segera sampai ke Rumah Sakit, namun papa belum juga sampai.
            Dokter bilang mama harus segera melahirkan walau tanpa papa disamping mama saat itu,mama dibawa keruang bersalin, beberapa waktu kemudian terdengar suara tangis bayi, yang menandakan bahwa aku telah lahir, seluruh keluarga menyambutku dengan kegembiraan, kecuali papa,saat itulah mama memberikanku nama MAYA ,karena suster harus segera menuliskan namaku di sebuah gelang bayi, beberapa menit kemudian handphone mama berbunyi, ternyata polisi yang menelfon mama yang mengabarkan bahwa pak hendrawan yaitu papa telah meninggal dunia karena kecelakaan.
            Hati mama benar-benar terpukul, bahkan mama tidak mau melihatku ketika suster memberikanku pada mama, mulai saat itulah mama membenciku, bahkan mama menganggapku sebagai pembawa sial.
            Aku hanya bisa menangis, walau suster telah memberikanku susu botol, ya.. susu botol karena mama tidak mau memberika ASI-nya kepada bayi pembawa sial sepertiku. Aku menangis bukan karena lapar, tapi seolah aku merasakan kesedihan yang dirasakan oleh mama yang benar-benar kehilangan sosok yang dicintainya.
            Mulai dari aku lahir hingga usiaku beranjak enam tahun, aku dirawat oleh tanteku yang memang tak mempunyai anak kerana penyakit kista yang dialaminya. Ia menyayangiku bagai anak sendiri, padahal bukan.
 Aku adalah anak yang cerewat dan selalu ingin tahu, sampai akhirnya aku bertanya tentang orang tuaku pada tante, “tante, apa Maya punya mama dan papa?” tante bingung bagaimana menjawabnya namun ia berfikir bahwa cepat atau lambat aku memang harus tahu.”tentu sayang” ucap tante sedikit terbatah. Aku pun kembali bertanya “apa mereka sayang padaku?”, tante kembali menjawab, “mereka sangat menyayangimu Maya”. Aku kembali bertanya karena rasa penasaranku pun semakin besar, “tante, jika mereka sayang Maya, kenapa mama dan papa nggak pernah liat Maya? Kenapa Maya nggak tinggal sama mereka?”. Untuk kali init ante evi tidak bisa menjawab, beliau malah menyuruhku untuk segera tidur, karena waktu menunjjukkan pukul 22.30 malam.”sudahlah sayang ini sudah malam, lebih baik kamu tidur ya, karena besok kamu harus sekolah.” Ucap tante evi. Itulah aku, si kecil Maya yang selalu ingin tahu. Aku memang sangat cerewet,terkadang tante evi selalu pura-pura tidur ketika aku mulai banyak bicara, itu sebagai tanda bahwa ia lelah mendengarkanku,dan seketika itu aku akan berhenti.  
Enam tahun sudah tante Evi merawatku dengan tulus, dan aku pun telah menaggap beliau sebagai ibu kandungku sendiri, tapi sayang, selang satu minggu kemudian ia harus pergi meninggalkanku dan keluargaku yang lain. Walau aku masih sangat kecil saat itu, tapi aku mengerti rasanya kehilangan, aku sangat sedih dan terpukul oleh kejadian itu, disela-sela acara pemakaman aku menyempatkan diri mencari mama yang mungkin hadir pada saat itu, walau aku tak pernah melihat mama, aku hanya mengandalkan ciri fisik mama yang pernah diceritakan tante Evi, tante bilang mama memiliki tubuh tinggi dengan paras wajah yang cantik, rambutnya hitam dan selalu terurai, karena mama tidak suka mengikat rambutnya yang indah itu.
Ketika aku sudah mulai menemukan orang yang tante Evi sebutkan, aku langsung memeluk dan memanggilnya mama. Semua orang kaget melihatku yang secara tiba-tiba memeluk mama, tapi entah kenapa mama langsung heran melihatku dan seolah tidak menganggapku sebagai anaknya,” siapa kamu? Kenapa kamu berani-beraninya panggil aku mama?”,ucap orang itu. Saat itu aku hanya bisa terdiam dan menangis,”tttaapii”,ucapku terbata, “tante Evi pernah menceritakan bahwa cirri-ciri mamaku persis seperti tante”,lanjutku sambil mengelap air mata. Tapi tak ada jawaban yang mama lontarkan.
Sampai beberapa menit kemudian, om Edo menghampiriku dan menggendongku. Ya.. om Edo sangat baik padaku, sama seperti tante Evi, mereka berdua adalah adik mama yang sangat baik padaku. “kakak tuh apa-apaan sih?” masa sama anak sendiri kejam gitu.” Omel om Edo pada mama. “apa kakak lupa kalau ini adalah Maya, anak kandung kakak?”. Aku hanya melihat mama yang diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun saat itu. Entah ada angin apa yang merasuk pada tubuh mama saat itu, tiba-tiba mama mengajakku untuk tinggal bersamanya saat itu. Aku tak dapat ungkapkan apa-apa lagi selain memberikan senyuman sebagai tanda aku sangat bahagia.
Selama perjalanan menuju rumah mama, mama sama sekali tidak bicara sedikitpun padaku, melihat sikap mama yang amat dingin terhadapku, aku pun tak berani bertanya tentang apapun. Sesampainya aku di rumah mama, terlihat senyum lembut yang di pancarkan seorang wanita paruh baya, yang usianya sekitar limapuluh atau enam puluh tahun, tapi dia bukan nenekku, melainkan pembantu dirumah mama mbok Darmi namanya,orangnya ramah dan sangat baik hati, dia menunjjukkan dimana kamarku, dan mempersilahkan aku untuk makan lalu istirahat, tidak ada ekspresi yang berubah dari mama, tetap saja ia diam tanpa merespon apapun tentang kehadiran diriku. Hinggaku bertanya-tanya dalam hati, apakah ia bahagia aku ada disini? Atau sebaliknya?”.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar